
Hukum Positif Indonesia-
Dalam uraian ini disampaikan mengenai:
Pendahuluan
Ernst Utrecht adalah seorang tokoh penting dalam sejarah hukum dan politik Indonesia. Ia lahir pada 30 Oktober 1922 di Surabaya dan dikenal sebagai pakar hukum serta politikus Indo-Belanda yang berhaluan nasionalis. Utrecht pernah menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia mewakili Partai Nasional Indonesia (PNI) dan golongan Indo-Belanda.
Dalam dunia akademik, ia menulis sejumlah karya penting seperti Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, dan Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana. Ia juga pernah menjabat sebagai dekan di beberapa universitas, termasuk Universitas Baperki (sekarang Universitas Trisakti) dan Universitas Jember.
Selain aktif mengajar di berbagai kota seperti Makassar, Ambon, dan Bandung, Utrecht juga dikenal karena pandangan hukumnya yang progresif, termasuk pengakuannya terhadap pentingnya hukum adat dalam sistem hukum Indonesia.
Pemikiran Utrecht
Salah satu pemikiran Ernst Utrecht yang menjadi kontroversi terbesar dalam kariernya dikenal sebagai “Utrecht Affair”. Ini terjadi saat ia menjabat di Fakultas Hukum Universitas Jember pada 1960-an. Utrecht mengeluarkan kebijakan yang melarang mahasiswa menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), karena ia menganggap HMI terafiliasi dengan partai politik yang saat itu dilarang, yaitu Masyumi. Ia bahkan menyatakan bahwa mahasiswa yang tetap menjadi anggota HMI tidak akan lulus mata kuliahnya.
Kebijakan ini memicu protes besar dari mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Utrecht tetap pada pendiriannya dan bahkan menantang otoritas dewan mahasiswa tersebut. Akibatnya, ia dan beberapa dosen lain yang mendukungnya dikeluarkan dari universitas.
Setelah peristiwa G30S 1965, Utrecht sempat ditahan oleh militer karena kritiknya terhadap campur tangan militer dalam urusan sipil. Meskipun tidak terlibat dalam peristiwa itu, ia tetap mengalami tekanan politik yang berat. Pada akhirnya, ia meninggalkan Indonesia dan menetap di Belanda hingga wafat pada 1987.
Pemikirannya tentang hukum juga tak kalah kontroversial. Ia mengkritik keras asas legalitas karena dianggap hanya melayani kepentingan penguasa, dan ia mengusulkan konsep pengayoman sebagai tujuan hukum Indonesia, yakni hukum yang melindungi rakyat, bukan sekadar menegakkan aturan.
Kalau kamu tertarik, kita bisa bahas lebih dalam soal pemikiran hukumnya yang berani dan bagaimana itu masih relevan sampai sekarang. Mau kupetikkan salah satu kutipan tajamnya?
Salah satu kutipan tajam dari Ernst Utrecht yang sering dikutip dalam diskursus hukum Indonesia adalah:
“Pengakuan berlakunya suatu hukum pidana yang tidak tertulis seperti dalam hukum adat bukanlah berarti suatu kemunduran.”
Pernyataan ini muncul dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin pada 1956, dan mencerminkan keberanian Utrecht dalam menantang dominasi asas legalitas yang kaku. Ia mengkritik asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada hukuman tanpa hukum tertulis sebelumnya) karena dianggap terlalu individualistis dan tidak cukup melindungi kepentingan kolektif masyarakat.
Utrecht juga menekankan bahwa politik hukum tidak hanya dijalankan oleh pembuat undang-undang, tetapi juga oleh hakim, terutama saat mereka menafsirkan atau bahkan menambah undang-undang demi keadilan substantif. Ini adalah pandangan yang sangat progresif dan masih relevan dalam konteks hukum modern Indonesia.
Pengaruh Pemikiran Hukum Utrecht
Bagaimana pemikiran Utrecht mempengaruhi hukum saat ini?
Pemikiran Ernst Utrecht sangat berpengaruh dalam membentuk fondasi hukum progresif di Indonesia, terutama dalam hal menempatkan hukum sebagai alat untuk pengayoman—melindungi dan memberdayakan rakyat, bukan sekadar menegakkan aturan secara kaku.
Pengaruh Penting Pemikiran Utrech
Pemikiran Utercht membawa beberapa pengaruh yang penting, diantaranya:
- Kritik terhadap asas legalitas; Utrecht menilai asas nullum delictum nulla poena sine lege terlalu individualistis dan tidak cukup melindungi kepentingan kolektif. Ia mendorong agar hakim diberi ruang untuk menafsirkan hukum demi keadilan substantif, bukan hanya prosedural.
- Pengakuan terhadap hukum adat; Ia menegaskan bahwa hukum adat yang tidak tertulis tetap sah dan relevan. Ini membuka jalan bagi pluralisme hukum di Indonesia, di mana hukum negara bisa berdampingan dengan norma lokal.
- Konsep “pengayoman” sebagai tujuan hukum; Utrecht memandang bahwa hukum harus melindungi masyarakat dari ketidakadilan struktural. Ini menjadi inspirasi bagi pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif, yang menekankan bahwa hukum harus berpihak pada rakyat kecil dan tidak boleh netral terhadap ketimpangan.
- Peran hakim sebagai pelaku politik hukum; Utrecht menyatakan bahwa hakim bukan sekadar “corong undang-undang,” melainkan aktor aktif dalam membentuk keadilan. Ini memperkuat gagasan bahwa hukum tidak boleh statis, melainkan harus hidup dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.
Implementasi Pengaruh Pemikiran Utrecht
Warisan Ernst Utrecht masih terasa kuat dalam perkembangan pembinaan hukum Indonesia hari ini, terutama dalam cara kita memahami fungsi sosial hukum dan peran hakim dalam menegakkan keadilan substantif.
Pada praktiknya, beberapa pemikiran utrech membawa pengaruh dalam perkembangan hukum di Indonesia, diantaraya:
- Pluralisme hukum diakui secara lebih luas; Gagasan Utrecht bahwa hukum adat dan norma lokal layak diakui berdampingan dengan hukum negara kini tercermin dalam berbagai kebijakan, termasuk pengakuan masyarakat hukum adat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Hakim sebagai agen keadilan, bukan sekadar corong undang-undang; Pemikiran Utrecht bahwa hakim harus aktif menafsirkan hukum demi keadilan kini menjadi bagian dari pendekatan progresif yang juga diusung oleh tokoh seperti Satjipto Rahardjo. Ini terlihat dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang sering mengedepankan keadilan substantif.
- Kritik terhadap asas legalitas mendorong reformasi hukum pidana; Utrecht menantang dogma bahwa hanya hukum tertulis yang sah. Kini, dalam RKUHP yang baru, terdapat ruang lebih besar bagi hakim untuk mempertimbangkan nilai-nilai keadilan sosial dan konteks budaya.
- Kesadaran hukum sebagai bagian dari pendidikan kritis; Utrecht menekankan pentingnya membangun kesadaran hukum di masyarakat, bukan hanya menghafal pasal. Ini menginspirasi pendekatan pendidikan hukum yang lebih reflektif dan kontekstual di banyak fakultas hukum saat ini.
Dengan kata lain, Utrecht bukan hanya meninggalkan buku dan teori, tapi juga semangat untuk menjadikan hukum sebagai alat pembebasan, bukan penindasan.
Penerapan Pemikiran Utrecht dalam Hukum Restoratif
Pemikiran Ernst Utrecht sangat relevan dalam mendukung pendekatan restorative justice (keadilan restoratif), meskipun istilah itu belum populer pada masanya. Ia menekankan bahwa hukum harus berpihak pada rakyat dan berfungsi sebagai alat pengayoman, bukan sekadar alat represif negara. Ini sejalan dengan prinsip utama keadilan restoratif: pemulihan hubungan sosial dan keadilan substantif.
Beberapa penerapan pemikiran Utrecht dalam konteks keadilan restorative, antara lain:
- Pengakuan terhadap hukum adat dan norma lokal; Utrecht menegaskan bahwa hukum adat yang tidak tertulis tetap sah dan tidak boleh dianggap sebagai kemunduran. Ini mendukung praktik keadilan restoratif berbasis musyawarah dan nilai lokal, seperti yang dilakukan di Papua, Minangkabau, atau Bali.
- Hakim sebagai pelaku politik hukum; Utrecht percaya bahwa hakim harus aktif menafsirkan hukum demi keadilan substantif. Dalam keadilan restoratif, hakim atau penegak hukum sering menggunakan diskresi untuk mengalihkan perkara ke jalur non-litigasi, seperti mediasi atau diversi.
- Kritik terhadap asas legalitas yang kaku; Ia menolak pandangan bahwa hanya hukum tertulis yang sah. Dalam keadilan restoratif, penyelesaian perkara tidak selalu mengacu pada pasal-pasal pidana, melainkan pada kesepakatan antara pelaku, korban, dan masyarakat.
- Fungsi hukum sebagai alat pembebasan; Utrecht memandang hukum sebagai sarana untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan struktural. Ini sejalan dengan tujuan keadilan restoratif yang ingin memulihkan keseimbangan sosial, bukan sekadar menghukum.
Dengan kata lain, meskipun Utrecht tidak secara eksplisit membahas restorative justice, semangat dan logika hukumnya menjadi fondasi penting bagi pendekatan ini di Indonesia. -RenTo110725-
Sumber:
Id.wikipedia.org, lk2fhui.law.ui.ac.id, scholarhub.ui.ac.id,
