“TAKBIRLAH PADA TEMPATNYA BUKAN TAKBIR GAGAH-GAGAHAN” – KHATAM MENULIS

Link tulisan di bawah ini membuka wawasan saya lebih dalam tentang Agama Islam, izin ustadz saya share tulisannya di web hukum positif Indonesia.

Semoga hikmah yang saya dapatkan pada waktu membaca tulisan ini juga dapat dirasakan oleh para pembaca lainnya.

(Syarah Nahj Al-Balaghah Ustadz Akbar Saleh) Oleh: Farham Rahmat Santri Khatamun Nabiyyin Masih dalam petuah ampuh Sayyidina Ali yang disampaikan oleh guru kita Ustadz Akbar saleh. “Rubba Alim Qod …

“TAKBIRLAH PADA TEMPATNYA BUKAN TAKBIR GAGAH-GAGAHAN”

(Syarah Nahj Al-Balaghah Ustadz Akbar Saleh)

Oleh: Farham Rahmat

Santri Khatamun Nabiyyin

Masih dalam petuah ampuh Sayyidina Ali yang disampaikan oleh guru kita Ustadz Akbar saleh. “Rubba Alim Qod Qatalahu, Wa Ilmuhu Ma’ahu La Yanfauhu” Artinya: Betapa banyak orang yang berpengetahuan telah dibunuh oleh kebodohannya, dan ilmu yang bersamanya tidak bermanfaat adanya.

Apa hakikat kebodohan ? dijelaskan dalam bait ini bahwa bodoh yang sebenarnya adalah bukan dia yang tidak berpengetahuan, melainkan dia yang penuh dengan pengetahuan namun seluruh kecerdasannya berorientasi kepada dunia semata. Sementara ilmu itu suci sebab berasal dari maha suci dan maha agung, seharusnya orientasi ilmu juga harus suci dan bersifat ukhrawi.

Ilmu hakikatnya satu dan menyatu, tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu non agama. Hari ini banyak kita temui pemisahan ilmu, dikatakan ilmu agama adalah ilmu untuk akhirat dan ilmu non agama adalah ilmu untuk dunia. Jika kita perhatikan lebih teliti, bukan ilmu yang berbeda, melainkan penggunaan ilmu yang harus tepat pada tempatnya. Dalam bahasa sederhana jika anda ingin mengetahui arsitektur bangunan jangan memakai rumus fiqih didalamnya. Begitupun sebaliknya, jika anda ingin tahu tata cara ibadah jangan pakai rumus arsitek didalamnya.

Sekularisasi ilmu bukan hanya terjadi pada masyarakat pada umumnya. Lebih celaka lagi, ini Sering juga terjadi pada ustadz yang merasa memahami agama dengan sempurna. Terkadang mereka menggunakan ilmu agamanya untuk mendoktrin perempuan, sehingga mampu beristri satu, dua, tiga sampai empat perempuan. Itulah mengapa ilmu empiris lebih terasa manfaat bagi masyarakat luas ketimbang ilmu agama. Michael Faraday menemukan teori pembangkit listrik, Thomas Alfa Edison mencipta bola lampu, Alexander Graham Bell menemukan alat komunikasi genggam atau Diesel menemukan mesin yang digunakan mobil, motor, pesawat, kapal laut bahkan alat teknologi kecil sekalipun. Semua itu adalah ilmu empiris namun membawa manfaat besar bagi manusia.

Ilmu seringkali menjadi hijab, bahkan membawa petaka bagi pemiliknya. Ilmu digunakan untuk kepentingan duniawi dan meninggalkan sisi akhiratnya. Jadi jangan heran, ilmu seringkali menimbulkan konflik, permusuhan, kebencian merajalela, kekerasan, pembunuhan bahkan genosida pengahancuran satu suku bangsa atau Negara kerap terjadi, akibat penyalahgunaan ilmu. Albert enstein tidak menginginkan bom atom dijadikan alat untuk membunuh sesama manusia, namuan realitas politik global memaksa untuk mempertahankan kepentingan kelompok satu untuk membasmi kelompok lain. Ilmu adalah alat seperti pisau, pisau digunakan untuk menyembelih hewan atau memotong wortel no problem. Namun ketika pisau digunakan untuk menikam manusia, atau menggorok leher sesama manusia adalah the big problem.

Jean Jacques Reassou berkata “saya menemui banyak manusia cerdas, namun saya tidak melihat kebaikan dan kepercayaan” semakin berilmu malah semakin jauh dari nilai agama. Mirip manusia yang banyak belajar kepada Mr. Google, kita kenal mampu menjawab semua pertanyaan, namun dari Mr. Google juga banyak lulusan internet yang tersesat olehnya. Hanya membaca satu artikel di internet langsung menganggap dirinya paling benar, selain dirinya adalah salah, termasuk ulama dan para kiyai yang sudah dari kecil belajar kitab berjilid-jilid di pondok pesantren pun juga disalahkan.

Wa ilmuhu ma’ahu la yanfauhu, inilah penyakit yang banyak ditemukan pada intelektual masa kini. Berilmu namun tidak bermanfaat bagi dirinya dan manusia lainnya. Sang guru berkata: “Orientasi ilmu adalah Lillahi ta’ala. Betapa banyak manusia yang menemukan Rumus namun lupa dengan peracik rumusnya. Betapa banyak manusia yang menemukan teori namun melupakan pencipta teorinya. Betapa banyak manusia menyaksikan fenomena alam namun lupa dengan arsitek alamnya, betapa banyak manusia yang berkarya namun lupa dengan kekuatan yang mengasilkan karyanya. Semua Ilmu, Rumus, Teori, Fenomena, karya bahkan ilmu yang luput dari manusia pun bersumber dari Allah.

Manusia hanya merangkai teori pengetahuan dan membagi dalam spesifikasi ilmu dengan kekuatan akalnya. Kekuatan akal pun juga dari Allah, sehingga kita mampu menganalisis dan meramu teori dengan indah. Ketika manusia mampu menyingkap rahasia ilmu, maka saat itulah takbir (Allahu Akbar) cocok untuk didentumkan, karena takjub atas ke-Maha Ilmu- an Allah. Bukan sedikit sedikit takbirrr…. Sedikit sedikit takbirrr… takbir yang bukan pada tempatnya, takbir yang bukan lahir karena takjub keagungan Allah, melainkan takbir karena gagah-gagahan ingin disebut muslim sejati.

Jakarta, 21 Desember 2018.

Source: “TAKBIRLAH PADA TEMPATNYA BUKAN TAKBIR GAGAH-GAGAHAN” – KHATAM MENULIS

Pemerhati Hukum dan Permasalahan Sosial

2 Comments

  1. Menyejukkan dan sangat mencerahkan. Terima kasih Mas Rendra atas share-nya.

    1. Terimakasih Kembali Pak, sebelumnya Saya informasikan bahwa tulisan tersebut bukan karya Saya. Tulisan tersebut saya copas dari site KHATAM MENULIS, Saya hanya Bantu share untuk menambah wawasan kita semua.

Leave a Reply to kutukamusCancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Discover more from Hukum Positif Indonesia

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading