
Hukum Positif Indonesia-
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah mengatur tata cara penahanan mulai dari proses penyidikan sampai dengan upaya hukum tingkat kasasi. Namun demikian pada beberapa kasus perkara pidana, sebelum adanya kekuatan hukum yang tetap (inkracht) yangmana terhadap terdakwa dilakukan penahanan, dan terdakwa masih melakukan upaya hukum baik tingkat banding ataupun tingkat kasasi tetap berpedoman dengan aturan main atau tatacara melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa.
Dalam uraian ini disampaikan mengenai:
Pendahuluan
Untuk lebih jelasnya mengenai penahanan tersangka/terdakwa sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah:
- Penyidik, dengan jumlah total masa tahanan adalah 60 hari.
- Penuntut Umum, dengan jumlah total masa penahanan adalah 50 hari.
- Hakim, dengan jumlah total masa penahanan adalah 90 hari.
Jika dijumlahkan semuanya mulai dari penahanan tingkat penyidikan sampai penahanan oleh hakim adalah berjumlah 200 hari. Perlu diingat total masa penahan yang 200 hari ini berlaku hanya pada pengadilan tingkat pertama atau sampai dengan adanya putusan pengadilan negeri saja. Apabila terdakwa melakukan upaya hukum banding maka hakim pengadilan tinggi dapat melakukan penahanan selama 30 hari dan dapat diperpanjang untuk 60 hari berikutnya menunggu sampai adanya putusan dari pengadilan tinggi, jadi jumlah total hari penahanan pada tingkat pengadilan tinggi adalah 90 hari. Demikian juga halnya dengan upaya hukum tingkat kasasi dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa selama 30 hari, dan dapat diperpanjang untuk 60 hari sampai adanya putusan pengadilan tingkat kasasi.
Permasalahan
Permasalahan pertama yang akan muncul mengingat pengelompokan dan jumlah hari adalah pada saat dilakukan penahanan berkenaan dengan masa perpanjangan penahanan hakim pengadilan pada tingkat pertama akan habis atau sudah habis sementara pemeriksaan perkara masih belum selesai, sehingga antara putusan hakim dan perpanjangan penahanan yang dimohonkan kepada pengadilan tinggi rentang waktunya singkat. Mengingat terdakwa juga mungkin akan melakukan upaya hukum banding, yang besar kemungkinan bahwa terdakwa masih tetap ditahan walaupun masa perpanjangan penahanan sudah habis.
Hal tersebut di atas dapat terjadi akibat singkatnya rentang waktu antara putusan hakim pengadilan negeri dan terbitnya perpanjangan penahanan oleh hakim pengadilan tinggi yang dimohonkan oleh hakim pengadilan negeri, sementara terhadap terdakwa masih dilakukan penahanan. Akibatnya terhadap masa penahanan dan terbitnya perpanjangan dari hakim pengadilan tinggi lewat waktu dikarenakan terdakwa melakukan upaya hukum banding. Di sinilah biasanya terjadi kekosongan hukum mengenai status penahanan terhadap terdakwa.
Permasalahan kedua juga tidak berbeda dengan permasalah pertama, perbedaannya hanya pada kewenangan penahanan saja. Kalau pada permasalahan pertama prosesnya perubahan status penahanan dari pengadilan negeri kepada pengadilan tinggi, pada permasahan kedua perubahanan status penahanan dari tingkat pengadilan tinggi kepada Mahkamah Agung dalam melakukan upaya hukum kasasi. Pokok permasalahannya tetap sama yaitu, rentang waktu masa penahanan oleh pengadilan tinggi sudah akan habis, sementara putusan pengadilan tinggi ditetapkan berdekatan waktunya dengan habisnya masa penahanan, sedangkan perpanjangan penahanan dari Mahkamah Agung belum ada. Kembali dapat terjadi kekosongan hukum dalam penahanan.
Pembahasan
Perlu kita ketahui bersama bahwa kewenangan hakim dalam melakukan penahanan mulai dari hakim pengadilan negeri sampai dengan hakim Mahkamah Agung berinduk kepada institusi Mahkamah Agung, jadi segala hal yang berkenaan dengan adminstrasi penahanan semuanya diketahui dan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung selaku institusi yang menaungi semua institusi pengadilan. Sedangkan lembaga pemasyaratan atau rumah tahanan tempat dimana tersangka atau terdakwa ditahan berdasarkan KUHAP sebagaimana tersebut di atas, berinduk kepada Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia yang membawahi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Mengingat salah satu fungsi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah perumusan dan pelaksanaan di bidang registrasi, pelayananan tahanan, dan pembinaan narapidana, dan dalam rangka menjamin kepastian dan perlindungan hukum, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, maka Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjawab kejadiaan yang berkenaan dengan kekosongan hukum dalam hal penahanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum tanggal 27 Desember 2011.
Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum disebutkan bahwa penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepala RUTAN maupun Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan dan pengeluaran tahanan, oleh karena itu untuk melakukan penahanan di RUTAN atau LAPAS harus memenuhi syarat sebagai mana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum, yaitu:
- Penahanan harus disertai surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan dari pejabat yang berwenang.
- Jika tidak disertai dengan surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan, kepala RUTAN atau kepala LAPAS berwenang menolak tahanan.
- Jika penahanan disertai dengan surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan, kepala RUTAN atau kepala LAPAS menerima tahanan untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban Kepala RUTAN atau Kepala LAPAS (Pasal 6 PERMENKUMHAM No.24/2011) adalah sebagai berikut:
- Memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang menahan mengenai tahanan yang akan habis masa penahanan atau habis masa perpanjangan penahanan, disampaikan paling lambat sepuluh hari sebelum berakhirnya masa penahanan.
- Wajib mengeluarkan tahanan demi hukum bagi tahanan yang telah habis masa penahanan atau masa perpanjangan penahanan, dapat dikecualikan untuk tetap dilakukan penahanan karena melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, terorisme, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusia yang berat serta perkara yang menarik perhatian masyarakat yang sebelumnya harus dikoordinasikan terlebih dahulu kepada pengadilan tinggi.
Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum disebutkan bahwa kepala RUTAN atau Kepala Lapas yang tidak mengeluarkan tahanan demi hukum dikenakan sanski administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian juga halnya dengan petugas RUTAN atau petugas LAPAS dikenakan sanksi administratif jika tidak mengeluarkan tahanan demi hukum.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari uraian diatas bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum, merupakan penegasan dari KUHAP sekaligus jawaban dari kekosongan hukum berkenaan dengan masa tahanan yang selama ini kerap terjadi sebelum ada keputusan yang berkuatan hukum tetap (inkracht), sehingga kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka atau terdakwa dapat dijamin keberadaannya. -RenTo170319-